Jumat, 29 Februari 2008

MTQ NUNUKAN

Tahun ini Kab. Nunukan mengadakan MTQ tingkat Kecamatan. Banyak teman-teman yang baru ikut, mereka mengembangkan kreatifitas mereka.

Tapi Panitia pelaksana sepertinya harus introperksi diri. Bahkan satu sama lain ada yang bertolak belakang begitu.

Khan kalau dipikir namanya saja Lomba Islam, memperkuat tali silaturahmi. Bukannya agama juga melarang untuk bermusuh-musuhan............!!!

Saya rasa setiap individu harus introspeksi diri dan masih perlu mengetahui yang baik dan yang buruk.

Untuk hadiah tahun ini sangat rendah, yang saya dengar dari teman-teman di NNK banyak yang protes tentang hal itu.

Wuiiii dana yang lain dikemanakan BOS............???

Ingat wahai Umat Nabi, Hamba ALLAH yang kalian laksanakan adalah lomba Islam.

Jangan sampai "MTQ" sebagai formalitas, sebagai ajang untuk mendapatkan keuntungan.

Kalian semua FIGUR dan Berpengaruh dikalangan masyarakat, jangan sampai tercemar yang tidak etis dikalangan masyarakat.

Jadikanlah lomba itu sebagai contoh untuk mendapatkan lebih baik lagi kedepannya.

Saya ucapkan SELAMAT kepada yang JUARA UMUM, dan Juara-Juara Lomba perindividu maupun kelompok. Tingkatkan kreatifitas kalian, jangan putus sampai sini. Dan jangan merasa paling hebat serta paling baik diantara tema-teman. Baik nya jadilah seperi padi semakin berisi semakin tunduk. Ini lah realita sebagian masyarakat NNK.

Apa yang pantas di sombongi di dunia ini......???

Kita cuma manusia biasa dihadapan Tuhan, yang berasal dari segumpal darah.

Pelaksanaan MTQ Tahun 2008:

  1. MTQ Tingkat Kec. di Nunukan tgl 22-24 Februari
  2. MTQ Tingkat Kab. di Sebatik tgl 29 Maret.
  3. MTQ Tingkat Prov. di Pasir tgl 1 Mei
  4. MTQ Tingkat Nasional di Banten tgL 17-24 Juni

Sabtu, 23 Februari 2008

DERIVASI DAN PENGERTIAN AL-QUR'AN

Al-Qur’an ("bacaan" atau yang "dibaca") adalah nama yg lazim dipakai untuk kitab suci kaum muslimin. Nama ini merupakan kata benda bentukan dari kata kerja Qara’a (membaca). Dikalangan tertentu sarjana muslim, berkembang pendapat lain tentang asal-usul nama atersebut. Menurut pendapat ini, nama itu diturunkan dari akar Qarana (menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, atau mengumpulkan). Jadi Al-Qur’an tanpa hamzah berarti kumpulan atau gabungan. Tetapi disini harus diberi catatan bahwa penghilangan hamzah merupakan cirri khas dialek Makkah atau Hijazi, dan karakteristik tulisan Al-Qur’an dalam aksara Kufi yang awal. Sebagaimana akan ditunjukkan, istilah Qur’an pada faktanya bertalian erat dengan, dan terampil dari akar kata Qara’a dalam penggunaan Al-Qur’an sendiri.

Dikalangan sarjana barat, kata qur’an mengikuti teori Friedrich Schwally dipandang sebagai derivasi dari bahaasa siria atau ibrani: Qiryani (Lectio bacaan atau yang dibaca), yang digunakan dalam liturgy Kristen. Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa semit bahasa arab termasuk kedalam rumpun bahasa ini untuk khasusu semacam itu bisa saja dibenarkan, mengigat kontak-kontak yang dilakukan orang-orang arab dengan dunia luarnya. Lewat konta-kontak tersebut, berbagai kata non arab telah dimasukkan kedalam bahasa arab aatau diarabkan. Tetapi seperti telah ditegaskan, istilah quran pada prinsipnya berasal dari penggunaan Al-Qur’an sendiri, bukan derivasi atau arabisasi kata qeryana atau qiryana.

Kata kerja qira’a dan berbagai bentuk turunya muncul 17 kali didalam Al-Qur’an. Kata ini muncul dalam sejumlah kesempatan dengan rujukan kepada pembacaan wahyu Al-Qur’an oleh Nabi Muhammad (An Nahl:98, Al-Israa:45, Al-A’raf:204, Al Insyiqaaq:21). Dalam konteks lain, disebutkan bahwa tuhanlah yang membacakan wahyu kepada Nabi (Al Qiyaamah:18, Al A´laa:6). Sementara dalam Al Muzzammil:20, terdapat dua kali perintah membacakan bagian-bagian termudah Al-Qur’an, yang ditujukan pada pengikut-pengikut Nabi ketika itu. Dalam Asy Syu'araa':198-199, dikatakan bahwa jika Al-Qur’an diturunkan kepada seorang non-arab (a’ajam), lalu ia bacakan kepada orang-orang kafir (Makkah), maka orang-orang tersebut tidak akan mempercayainya.

Keseluruhan konteks bagian Al-Qur’an yang dikemukakan diatas secara jelas memperlihatkan pertalian erat antara akar kata qara’a dengan al-qur’an. Hal ini membuktikan bahwa, dalam penggunaan Al-Qur’an sendiri, Al-Qur’an memang diturunkan dari akar kata tersebut.
Catatan:
AL-QUR'AN
Drs. Taufik Adnan Amal

Senin, 18 Februari 2008

KEJUJURAN (HONESTY)

PADA MASA ARAB KUNO

Sidq mengandung dua aspek yang bebeda, meskipun berkaitan erat: yakni kejujuran, atau berbicara benar, dan kesetiaan terhadap janji, atau perjanjian.
Berbicara benar dianggap sebagai kebajikan yang utama diantara orang-orang arab padang pasir pada masa Jahiliah akan menjadi jelas tanpa pembicaraan yang panjang. Ini juga berlaku bagi semua bangsa, sepanjang yang diketahui. Kebajikan ini merupakan bentuk kebajikan yang dimiliki manusia yang paling umum, dengan demikian tidak menimbulkan permasalahan yang sangat penting. Namun demikian dalam qur’an, kebajikan itu sangat istimewa, dan permasalahan ini dapat dipahami apabila kita menghendaki masalah ini dari sisi negatifnya, yakni dosa tentang kebohongan.
Sebaiknya kita mengingat kembali suatu masalah yang penting, yakni bahwa kebenaran pada dasarnya merupakan hubungan antara dua kutub: yakni, sidq dan haqq. Sebagaimana yang kita lihat, haqq menggambarkan sisi obajektif, dari kebenaran, dan bahasa dapat menjadi ‘benar’ hanya apabila sesuai dengannya. Kebenaran sebagai persoalan subjektifitas, merupakan penggunaan bahasa yang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan haqq, realitas. Hal ini mengandung makna yang penting apabila kita beralih kepada masalah bicara benar dalam persoalan-persoalan. Yang menyangkut hubungan religius antara Tuhan dan manusia. Karena menurut Qur’an wahyu tidak lain adalah haqq, dan Tuhan sendiri adalah haqq yang mutlak. Adalah penting dalam kedua kasusu itu haqq dilawankan dengan bathil yang artinya segala sesuatu yang pada hakikatnya kebohongan, atau kesia-siaan yang tak ada landasannya.
Dan dijelaskan pula bahwa kebohongan itu adalah termasuk salah satu dari sifat-sifat munafik, Rasulullah SAW bersabda :


Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga hal, lalu belia menyebut yang nomor tigaialah apbila ia berbicara ia berdusta”.

Islam Sebagai Kebenaran

Apabila wahyu yang disampaikan melalui seorang Nabi merupakan Kebenaran, maka demikianlah halnya Islam, agama ini didasarkan pada wahyu, juga merupakan kebenaran. Dalam pengertian ini kata haqq secara tetap dipakai sebagai lawan kata bathil. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Yunus:35 & Al-Israa’:81 yang berbunyi:

Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran." Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (Q.S.Yunus:35)

Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (Q.S.Al-Israa:81)

Kesudahan dari semua itu adalah bahwa dalam Qur;an kata “Kebenaran” haqq merupakan kata suci, dan akibatnya, semua pemakaian bahasa yang berlawanan dengan kata itu dianggap sebagai pengingkaran terhadap Allah dan Agama-Nya. Maka sama sekali tidak mengherankan bahwa kita menjumpai kadhib, “kebohongan” atau “dusta”, disebut dalam qur;an sebagai dosa yang keji. Kadhib ini merupakan salah satu sifat yang paling menyolok dari seorang kafir.

Tuhan Sebagai Kebenaran dan Realitas

(
Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. Al-Hajj:62)

Bathil dalam ayat tersebut jelas-jelas menunjukkan berhala yang dipuja orang-orang Arab pagan bersama-sama Allah. Dan oleh karena berhala menurut pandangan Qur’an, tidak lain merupakan penemuan manusia yang bersifat khayalan, maka akan terbuktilah bahwa “Kebenaran” (haqq) memiliki makna sesuatu yang nyata, suatu kekuatan yang menjalankan proses kehidupan dan kematian didunia eksistensi.

Wahyu Sebagai Kebenaran atau Kenyataan

Atau (apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Muhammad) ada penyakit gila." Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran. Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.(Al-mu’minuun:70-71)

Ayat 71 manunjukkan tentang kenyataan bahwa Nabi, terutama pada permulaan tugas kerasulannya, seringkali orang-orang sebangsanya dianggap sebagai orang gila. Yang harfiahnya majmun., yakni seseorang yang diganggu dan dikuasai jinn atau roh yang tidak kelihatan, dimana Muhammad sendiri mengakui akan kebenaran jinn itu. Ayat tersebut meenolak dengan tegas dan menyatakan bahwa Muhammad bukanlah seorang yang majmun, beliau adalah Nabi Allah, yang membawa pesan ilaihi, yakni kebenaran. Dengan cara yang sama, “kebenaran” ini sering kali dicemooh dan ditertawakan sebagai sigr atau magic belaka.
Didepan orang-orang kafir yang menentangnya dengan gencar tersebut, kadang-kadang Muhammad bahkan terlihat goncang, dan dalam riwayatkan diceritakan, terutama pada awal-awal tugas kenabiannya kadangkala dilanda kecemasan dan kebimbangan berkenaan dengan suara misterius yang menyuruhnya untuk menyampaikan wahyu tersebut.